Friday 23 October 2015

TIDAK BOLIH AMBIL 'ILMU DARI...

Tidak dihalalkan mengambil ilmu dari:

Shaykh Saalih ibn al-Fawzaan al-Fawzaan حفظه الله berkata:

فلا يجوز الأخذ عن الجهال ولو كانوا متعالمين، ولا الأخذ عن المنحرفين في العقيدة بشرك أو تعطيل، ولا الأخذ عن المبتدعة والمنحرفين وإن سموا علماء.

Tidak bolih diambil 'ilm dari seorang jahil walaupun beliau Mua'aalim[1] Dan tidak boleh mengambil 'ilm dari seseorang yang mempunyai Aqeedah yang terpesong, seperti shirik atau pun menyalahi nama nama dan sifat sifat Allah. Dan tidah dibolihkan mengambil ilmu  dari pembuat bid'ah atau pun mereka yang terpesong aqeedah mereka walaupun mereka dipanggil "ulama" .

[Rujukan: Al-Ajwabah al-Mufeedah ‘an As’ilah al-Manaahij al-Jadeedah, m/s 254]

Nota kaki :

[1] Orang yang berpura pura mempunyai 'ilm dan dia tidak memahami kefahaman (dalam agama) dan beliau juga tidak mendapat 'ilm dari ulama ulama terkenal.
Shaykh Saalih ibn al-Fawzaan al-Fawzaan حفظه الله ditanya:

Soalan:

السؤال : رجل يدرس الناس العلوم الشرعية و عقيدة السلف مع انه لم يتلقى العلم عن المشائخ و العلماء هل يؤخذ عنه العلم ؟
Soalan : Seseorang mengajar manusia Qaidah Al-Syaari'ah dan Aqeedah Salaf walaupun beliau tidak mengambil  ilmu dari maasyaikh dan ulama salaf, adakah bolih diambil darinya?

Jawab:

الجواب : ما دام انه ليس عنده تأصيل عن العلماء انما هو متتلمذ على الاوراق و على الكتب فلا ما يؤخذ عنه العلم لانه ما يفهم مذهب السلف و لا يفهم الا عن دراسة على العلماء تلقي على العلماء هذا العلم بالتلقي ما هو بالقراءة فقط بالتلقي لكن القراءة مساعدة فقط فلا يعتمد عليها فمثل هذا يقال له متعالم و لا يؤخذ عنه العلم . نعم 
_____________
عنوان الدرس كتاب صفة الصلاة- العلامة صالح بن فوزان الفوزان-5-محرم-1434

Selagi beliau tidak mempelajari ilmu dari ulama salaf, (dan beliau tidak mendapat galakan) tapi beliau mengambil ilmu hanya dari buku buku dan kitab kitab, maka 'ilm tidak boleh diambil dari beliau. kerana beliau tidak faham Mazhab Salaf. Dan Mazhab salaf tidak boleh difahami melainkan difahami dari mempelajari secara terus menerus dari ulama (salaf). Ilmu ini bukan saja hendak diambil dari ulama salaf hanya dari membacanya, kerana pembacaan hayanlah alat tapi tidak bolih dipergantungkan. Oang orang seperti ini dinamakan Muta'aalim dan ilmu tidak bolih diambil dari nya.

[Sumber : Pengajaran “Kitaab Sifatus-Salaah”, 5th Muharram, 1434 A.H

KESESATAN DAN PENYIMPANGAN ASSYA'AIRAYYAH



Kesesatan dan penyimpangan asy’ariyah


(Ditulis oleh: Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak)
Setelah kita menelusuri sosok Imam Abul Hasan al-Asy’ari, ternyata beliau adalah salah seorang ulama Ahlus Sunnah, bahkan dengan tegas beliau menyatakan berakidah seperti akidah al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal t.
Sekarang masih ada satu pertanyaan yang perlu kita jawab, yaitu Benarkah Asy’ariyah termasuk golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah?
Untuk menjawab masalah ini kita harus mengetahui hakikat kelompok ini dan pemikiran-pemikirannya.
Siapakah Asy’ariyah?
Kelompok Asy’ariyah adalah kelompok yang mengklaim dirinya sebagai Ahlus Sunnah dan menganut paham al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t.
Benarkah pengakuan mereka? Karena banyak yang mengaku dirinya sebagai Ahlus Sunnah, padahal akidahnya jauh dari akidah Ahlus Sunnah.
Allah l berfirman:
“Datangkanlah bukti kalian, jika kalian orang-orang yang benar.” (al-Baqarah: 111)
Kata pepatah Arab:
Semua orang mengaku sebagai kekasih Laila
Padahal Laila tidak mengakui mereka sebagai kekasihnya
Sejarah Munculnya Paham Asy’ariyah
Telah kita ketahui bahwa bibit pemikiran Asy’ariyah muncul ketika Abul Hasan al-Asy’ari mengkritisi pemikiran Mu’tazilah ayah tirinya yakni Abu Ali al-Jubba’i, padahal itu terjadi jauh setelah masa generasi utama berakhir, bahkan setelah zaman Imam Ahlus Sunnah al-Imam Syafi’i t.
Berarti, di zaman sahabat, tabiin, tabiut tabiin, bahkan di zaman al-Imam Malik, Abu Hanifah, dan al-Imam Syafi’i, belum ada yang namanya paham Asy’ariyah. Telah kita ketahui pula bahwa Abul Hasan al-Asy’ari sendiri telah rujuk dari pendapatnya, menegaskan bahwa beliau di atas akidah al-Imam Ahmad bin Hanbal t.
Jadi siapakah panutan Asy’ariyah, jika imam yang empat saja tidak mengenal paham mereka?!
Sumber Ilmu Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah satu kelompok ahlul kalam, yakni mereka yang berbicara tentang Allah l dan agama-Nya tidak berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah, mereka mengutamakan ra’yu (akal) mereka dalam membahas perkara agama. Oleh karena itu, kita akan mendapatkan penyimpangan mereka dalam ber-istidlal (pengambilan dalil).
Di antara prinsip mereka yang menyimpang dalam berdalil:
1. Dalil-dalil sam’i adalah dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah mutawatir, bukan hadits-hadits ahad, karena hadits ahad bukanlah hujah dalam masalah akidah.
Ar-Razi berkata dalam Asasut Tadqis, “Adapun berpegang dengan hadits ahad dalam mengenal Allah l tidaklah diperbolehkan.”
2. Mendahulukan akal daripada dalil
Hal ini telah disebutkan oleh al-Juwaini, ar-Razi, al-Ghazali, dan lainnya
Sebagai contoh: Ar-Razi menjelaskan dalam Asasut Taqdis, “Jika nash bertentangan dengan akal maka harus mendahulukan akal.”
3. Nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah dhaniyatud dalalah (kandungannya hanya bersifat kira-kira), tidak menetapkan keyakinan dan kepastian.
4. Menakwil nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah tentang nama-nama dan sifat Allah l.
5. Sering menukil ucapan falasifah (orang-orang filsafat), ini kental sekali dalam kitab-kitab mereka sepeti Ihya Ulumudin.
(Lihat Ta’kid Musallamat Salafiyah, Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyairah)
Penyimpangan-Penyimpangan Asy’ariyah
Allah l menjelaskan bahwa jalan kebenaran hanya satu, Allah l berfirman:
“Dan inilah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia.” (al-Anam: 153)
Rasulullah n menjelaskan bahwa jalan tersebut adalah jalannya dan jalan yang telah ditempuh para sahabatnya, beliau n bersabda:
“Umatku terpecah menjadi 73 golongan: 72 di neraka dan 1 yang selamat. Mereka adalah al-jama’ah.”
dalam riwayat lain:
”(mereka adalah yang berjalan) di atas jalanku dan jalan sahabatku.” merekalah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Ahlul Hadits.
Ketika Asy’ariyah menyelisihi jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah maka mereka pun terjatuh dalam penyimpangan-penyimpangan dalam prinsip agama.
Di antara penyimpangan mereka:
1. Dalam masalah tauhid
Asy’ariyah menyatakan tauhid adalah (sekadar) menafikan berbilangnya pencipta… sehingga umumnya mereka menafsirkan kalimat tauhid hanya sebatas tauhid rububiyah, yaitu tidak ada pencipta atau tidak ada yang bisa mencipta selain Allah l. Mayoritas mereka tidak mengenal tauhid uluhiyah.
Adapun Ahlus Sunnah meyakini bahwa tauhid ada tiga: tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma wa sifat.
Ahlus Sunnah meyakini bahwa tauhid adalah kewajiban pertama atas seorang hamba, terkhusus tauhid uluhiyah, karena untuk itulah manusia diciptakan. Allah l berfirman:
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariat: 56)
2. Dalam masalah iman
Asy’ariyah dalam masalah iman di atas mazhab Murji’ah Jahmiyah. Mereka menyatakan iman hanyalah tasdiq bilqalbi (pembenaran dengan hati).
Mereka menyatakan bahwa iman hanyalah membenarkan. Mereka tidak menyatakan amal termasuk dari iman dan tidak memvonis seseorang telah terjatuh dalam kekafiran dengan semata kesalahan amalan anggota badan.
Mereka pun akhirnya terjatuh dalam menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah n.
Adapun Ahlus Sunnah menyatakan bahwa iman adalah keyakinan dengan hati, ucapan dengan lisan, dan amalan dengan anggota badan, bisa bertambah dan berkurang. Iman bertambah dengan melaksanakan ketaatan dan berkurang dengan sebab perbuatan maksiat.
3. Dalam masalah asma wa sifat
Asy’ariyah memiliki kebid’ahan dengan menetapkan sifat ma’ani tujuh sifat saja. Dasar mereka dalam menetapkannya adalah akal. Tujuh sifat yang mereka tetapkan pun tidak bermakna seperti makna yang ditetapkan Ahlus Sunnah.
Kemudian ditambah oleh seorang tokoh mereka yakni as-Sanusi menjadi dua puluh. Mereka mengingkari sifat-sifat lainnya yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka tidak menetapkan satu pun sifat fi’liyah bagi Allah l (seperti istiwa, nuzul, cinta, ridha, marah, dan lainnya).
Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah menetapkan semua nama Allah l dan sifat-sifat-Nya yang telah disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa tahrif, takwil (penyelewengan), dan tamtsil (penyerupaan dengan makhluk).
4. Dalam masalah al-Qur’an
Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa al-Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk. Dalil-dalil tentang masalah ini sangatlah banyak. Allah l berfirman:
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah (yakni al-Qur’an).” (at-Taubah: 6)
Rasulullah n bersabda:
“Adakah kaum yang mau membawa dan melindungiku, karena sesungguhnya Quraisy telah mencegahku untuk menyampaikan kalam Rabbku (al-Qur’an).”
Dalam masalah inilah para ulama Ahlus Sunnah dizalimi. Al-Imam Ahmad dan para ulama Ahlus Sunnah lainnya mendapatkan cobaan yang dahsyat.
Orang-orang Mu’tazilah berhasil menghasut penguasa ketika itu sehingga menjadikan paham Mu’tazilah sebagai akidah resmi dan memaksa semua orang untuk mempunyai keyakinan ini.
Berapa banyak para ulama Ahlus Sunnah meninggal dalam mempertahankan akidah Ahlus Sunnah dan sebagian lainnya terzalimi (di antaranya dengan dipenjara).
Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa semua yang tertulis dalam mushaf, dihafal di dada adalah al-Qur’an. Ahlus Sunnah meyakini bahwa kalamullah adalah dengan huruf dan suara, dapat didengar dan dapat dimengerti.
Al-Imam Ahmad t berkata, “Al-Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk. Jangan engkau lemah untuk mengatakan, ‘Bukan makhluk.’ Sesungguhnya kalamullah itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari Dzat Allah l, dan sesuatu yang berasal dari Dzatnya itu bukanlah makhluk. Jauhilah berdebat dengan orang yang hina dalam masalah ini dan golongan lafzhiyah (ahlul bid’ah yang mengatakan, ‘Lafadzku ketika membaca al-Qur’an adalah makhluk’) dan lainnya atau dengan orang yang tawaquf (abstain) dalam masalah ini yang berkata, ‘Aku tidak tahu al-Qur’an itu makhluk atau bukan makhluk, tetapi yang jelas al-Qur’an itu adalah kalamullah’. Orang ini (yang tawaquf) adalah ahlul bid’ah sebagaimana halnya orang yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Ketahuilah, (keyakinan Ahlus Sunnah adalah) al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk.” (Lihat Ushulus Sunnah)
Mu’tazilah telah sesat dalam masalah ini dan lainnya. Kesesatan Mu’tazilah karena mereka menyatakan al-Qur’an adalah makhluk bukan kalamullah.
Adapun penyimpangan Asy’ariyah karena mereka mencocoki Ahlus Sunnah dari satu sisi dan menyepakati Mu’tazilah dari sisi lainnya.
Kaum Asy’ariyah berkata, “Al-Qur’an maknanya adalah kalamullah, adapun lafadznya adalah hikayat (ungkapan) dari kalamullah, artinya lafadz al-Qur’an, menurut mereka, adalah makhluk.”
Hal ini karena dalam pandangan Mu’tazilah, Allah l tidak berbicara, dan dalam pandangan Asy’ariyah Allah l berbicara tapi hanya dalam jiwanya, tidak terdengar.
5. Dalam masalah takdir
Mereka jabriyah dalam masalah takdir, hanya menetapkan iradah (kehendak) kauniyah dan tidak menetapkan iradah syar’iyah. Menurut mereka, seorang hamba tidak memiliki qudrah (kuasa), mereka hanya menetapkan kemampuan dan qudrah seorang hamba ketika berbuat saja, mereka menafikan adanya qudrah hamba sebelum berbuat.
Adapun Ahlus Sunnah menetapkan adanya iradah kauniyah dan syar’iyah, menetapkan masyiah dan qudrah bagi hamba.
6. Penyimpangan Asy’ariyah dalam masalah takwil/penyelewengan
Sebagai contoh, ar-Razi dan al-Amidy menakwilkan makna istiwa menjadi: menguasai, mengalahkan, serta pasti terjadinya takdir dan hukum ilahiyah. (Asasut Taqdis dan Ghayatul Maram)
Contoh lain, menakwilkan sifat wajah. Al-Baghdadi berkata, “Yang sahih menurut kami yang dimaksud wajah adalah dzat.” (Ushuluddin)
Disebutkan oleh Ibnu Taimiyah bahwa takwil yang ada di tengah-tengah manusia seperti takwil yang disebutkan oleh Ibnu Faurak dalam kitab Takwil, Muhammad bin Umar ar-Razi dalam kitabnya Ta’sisut Taqdis, juga ada pada Abul Wafa Ibnu Aqil dan Abu Hamid al-Ghazali, takwil-takwil tersebut adalah takwil yang bersumber dari Bisyr al-Marisi, seorang tokoh Mu’tazilah. (Lihat Majmu Fatawa: 5/23)
7. Penyimpangan Asy’ariyah dalam masalah illat (sebab/hikmah) dalam perbuatan Allah l
Mereka tidak menetapkan ‘ilat (sebab) dan hikmah bagi perbuatan Allah l.
Adapun Ahlus Sunnah menyatakan semua yang Allah l lakukan mengandung hikmah yang sangat tinggi.
8. Orang-orang Asy’ariyah setelah masa Abul Ma’ali al-Juwaini mengingkari bahwa Allah l di atas makhluk-Nya.
9. Mereka memperluas permasalahan karamah hingga menyatakan bahwa mukjizat para nabi mungkin saja terjadi atas para wali.
10. Menetapkan Allah l dilihat tanpa dari arah. Hingga akhir ucapan mereka mengingkari ru’yah (bahwa kaum mukminin akan melihat Allah l di akhirat)
11. Menyatakan akal tidak bisa menetapkan baik buruknya sesuatu.
12. Menyatakan tidak sah keislaman seseorang setelah mukallaf sampai ragu terlebih dahulu.
(Lihat Takidat Musallamat Salafiyah hlm. 35—36, dan Mauqif Ibnu Taimiyah minal Asya’irah)
Download juga kajian kesesatan asy’ariyah yang dibawakan oleh Ustadz Muhammad As Sewed hafidzahullah :

Thursday 22 October 2015

Ilm, and the Obligation of Adhering to the Comandment of Allah anf the Example of the Prophet and the Pious Predecessors (Salaf)

Prelude:

Ilm (knowledge) in islam, takes a high priority. The occurence of the word ilm and its derivatives (muallim, allama etc.) in the quran, totalled more than 700 times, second only to the word Allah and Al Rabb. It just shows how important ilm is in Islam. In the quran it is commanded thus:

(فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ)

[Surat Muhammad 19]
Translation:
SO KNOW , [O Muhammad], that there is no deity except Allah, and ask forgiveness for your sin and for the believing men and believing women. And Allah knows of your movement and your resting place.

In short, we must know what is the meaning of "Laa ilaha ilallah, Muhammad Rasulallah", our obligation upon utterance of the highest kalimah in Islam. (Notice the emphasis of ilm - knowledge.)

Thus Imam Bokhari in his famous kitab Sahih Bokhari, said:
"It is obligatary to have ilm (knowledge)
BEFORE speaking and doing" i.e. we must have ilm (knowledge) BEFORE we say or shahadah, before we perform the solat, fasting, zakat and Haji.

But what is happening today is the opposite. People (even born Muslims) utter shahadah without the knowledge of the obligation of the one who utters it! And; performing the solat without knowing its rukun, wajib, sunnah and also that there is a commandment that we perform our solat by following what and how he commanded us to perform it....and so on. (Sollu kama ra aitu ussollu-pray as you see me pray" Hadis Bokhari)

Ibaadah

'Ibadah is not complete just by the mere saying that "Allah knows....(what's in our heart?"). There are certain conditions imposed by Allah which are necessary for our ibadah to be accepted by him.

For surely Allah, he knows everything, but it is us, how do we know that our ibaadah is being accepted by Allah or not?. Or are we sure that we are following the right path in accordance to the way that is ordained by him? How do we know for sure? Does Allah expect that we grope through the path without knowing which is the straight path, without any guidance? . So we have to look into the quran for what Allah wants out of us.

For Allah almighty is just, he created us only to worship him and none else, and he also provided us with the manual as to how we should live our lives in obedience to him so that we do not go astray:

(وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ)
[Surat Adh-Dhariyat 56]
Translation:

"And I did not create the jinn and mankind except to worship Me".

He also commanded us to worship him only and none else:

(وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ)

[Surat Al-Baqarah 83]
Translation:

And [recall] when We took the covenant from the Children of Israel, [enjoining upon them], "DO NOT WORSHIP, EXCEPT ALLAH; and to parents do good and to relatives, orphans, and the needy. And speak to people good [words] and establish prayer and give zakah." Then you turned away, except a few of you, and you were refusing.

He also said he will guide us, (only if we are deserving i.e. being ikhlas and obedient to all his commands i.e. part of being taqwa).

So Allah azzawajal, he sent us the (1) quran as guidance:
(ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِين
[Surat Al-Baqarah 2]
This is the Book about which there is no doubt, a GUIDANCE for those conscious of Allah,
- and  (2)  he also sent his messenger, Prophet Muhammad s.a.w. also to guide us by his mannerisms:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُوْلِ اللهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
(لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا)
[Surat Al-Ahzab 21]
Translation:

There has certainly been for you in the Messenger of Allah AN EXCELLENT PATTERN (EXAMPLE) FOR ANYONE WHOSE HOPE IS IN ALLAH AND THE LAST DAY AND {WHO REMEMBERS ALLAH OFTEN}.

And he, Allah swt further says:

(قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ)

[Surat Aal-E-Imran 31]
Translation:

And commanded Muhammad s.a.w to inform mankind:
Say, [O Muhammad], "If you should love Allah , THEN FOLLOW ME (Muhammad), [so] Allah will love you and forgive you your sins. And Allah is Forgiving and Merciful."

And he tells us, What and which path he considers the straight path that those who followed it will achieve the promised reward, for those who found it, and thread upon it:

(فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ ۖ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ)
[Surat Al-Baqarah 137]
Translation:
"SO IF THEY BELIEVE IN THE SAME AS YOU BELIEVE IN, THEN THEY HAVE BEEN RIGHTLY GUIDED; but if they turn away, they are only in dissension, and Allah will be sufficient for you against them. And He is the Hearing, the Knowing".

Having sent his book (quran) and his Messenger (Muhammad) s.a.w. he now put us on test so that only the most sincere and the most obedient among us will enter his jannah.

Allah will test his slaves, (not so much as for him to know as) to find who deserve salvation and enjoy eternal live in the hereafter as against who shall be put to the torment of the fire.

And we have to know these tests, in order not to fall into the pitfalls of syaitan who has laid traps for us, for Shaitaan, he wants many of us to join him in the hellfire, because he was arrogant. But that is another story.

These tests are to differentiate between those rebellious and the obedient ones from among us, and thus we must have the required ilm (knowledge) to overcome the trials and tribulations that we will face.

(وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ)

[Surat Al-Baqarah 155]

"And We will surely test you with something of fear and hunger and a loss of wealth and lives and fruits, but give good tidings to the patient,"

I will not indulge in the tests of fear, hunger, wealth, and fruits, as these, I presume, are understood, but I will explain وَالْأَنْفُسِ (nafs, conscience, hawa nafsu) like death of a loved one but cannot accept such a fate, then become ungrateful to our creator, or a test of choice of obedience/disobediance, eg. Our "hawa" (nafs) tells us that making tahlil on the 7th, 14th ..100th of death of a dear relative is good, while there is no evidence from the quran and hadiths to suggest the validity of such an 'amal. Would one choose to do it which is a bid'ah and a form of disobedience, we choose not to do bid'ah for fear of Allah?
You can see that Islam is one straight path, but obviously, many from among us have strayed. We are disunited, fragmented, that many of us are prepared to kill one another despite being brothers to one another.

That's why Muslims today are the least respected people in the world, for Allah had promised such a fate to befall us if we disobeyed him. Our fate will only change if each and every Muslim revert back to the Islam as practiced by Rasulallah s.a.w, his companions, and the generation of the salaf (pious predecessors up to the second generation after the sahabah who had been described in the quran as the best generation.

Thats about it for now and I Pray that you read this humble effort of mine, benefitfrom it, and wherever there is good is due only to Allah, and any mistakes and errors are due to my weaknesses as a weak servant of Allah..

Wallahu a'lam

In surah al mulk ayat 2 Allah says:

(الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ)
[Surat Al-Mulk 2]
[He] who created death and life to test you [as to] which of you is best in deed - and He is the Exalted in Might, the Forgiving -

So in short, first, we must be sincere in our worship i.e. for Allah alone. And secondly, we must ensure that ALL worship that had been ordained via the Prophet s.a.w. in order for our worship to be accepted.

Sunday 18 October 2015

SIAPAKAH SEBENARNYA YANG DISEBUT HADIS BERPECAH HINGGA 72 PUAK?

Siapakah sebenarnya yang berpechah dari Ahlus Sunnah wal Jamaah yang  di-maksudkan olih Hadis Nabi s.a.w.?___________________________________

Definisi Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

Pengertian as-Sunnah Secara Bahasa (Etimologi)
As-Sunnah secara bahasa berasal dari kata: "sanna yasinnu", dan "yasunnu sannan", dan "masnuun" yaitu yang disunnahkan. Sedang "sanna amr" artinya menerangkan (menjelaskan) perkara.
As-Sunnah juga mempunyai arti "at-Thariqah" (jalan/metode/pandangan hidup) dan "as-Sirah" (perilaku) yang terpuji dan tercela. Seperti sabda Rasulullah shalallahu'alaihi wassalam ,
"Sungguh kamu akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta." (HR. Al-Bukhari dan Muslim). (HR. Al-Bukhari no 3456, 7320 dan Muslim no. 2669 dari Sahabat Abu Sa'id al-Khudri).
Lafazh "sunnah" maknanya adalah "sirah" (perilaku). (Lihat kamus bahasa, Lisaanul ‘Arab, Mukhtaarush Shihaah dan al-Qaamuusul Muhith: (bab: Sannana).

Pengertian as-Sunnah Secara Istilah (Terminologi)

Yaitu petunjuk yang telah ditempuh oleh Rasulullah shalallahu'alaihi wassalam dan para Sahabatnya baik berkenaan dengan ilmu, ‘aqidah, perkataan, perbuatan maupun ketetapan.
As-Sunnah juga digunakan untuk menyebut sunnah-sunnah (yang berhubungan dengan) ibadah dan ‘aqidah. Lawan kata "sunnah" adalah "bid'ah".

Nabi shalallahu'alaihi wassalam bersabda, "Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kalian setelahkau, maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaknya kalian berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah para Khulafa-ur Rasyidin dimana mereka itu telah mendapat hidayah." (Shahih Sunan Abi Dawud oleh Syaikh al-Albani).
(HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud no. 4607, at-Tirmidzi no. 2676, dan al-Hakim (I/95), dishahihkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat keternagan hadits selengkapnya di dalam Irwaa-ul Ghaliil no. 2455 oleh Syaikh al-Albani.

Penulis: Inilah zamannya yang dimaksudkan hadis nabi s.a.w. diatas bilamana umat sedang berpecah semakin teruk dari kumpulan induk ahlus sunnah. Cuba baca arahan Nabi s.a.w. berkali kali, kalau yang faham bahasa 'Arab boleh baca versi Bahasa 'Arab, lagi baik. Ia berbunyi:
"Maka hendaknya kalian berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah para Khulafa-ur Rasyidin dimana mereka itu telah mendapat hidayah."
Penulis: Maka beranikah  mereka yang beramal dengan  "Doa awal/akhir tahun," yang mereka tergolong dari yang berpegang teguh pada Sunnah Nabi dan Sunnah Khulafa-u Rashidin yang mendapat hidayah? Kalau mereka jawab ia, berikanlah Hadisnya?


Pengertian Jama'ah Secara Bahasa (Etimologi)

Jama'ah diambil dari kata "jama'a" artinya mengumpulkan sesuatu, dengan mendekatkan sebagian dengan sebagian lain. Seperti kalimat "jama'tuhu" (saya telah mengumpulkannya); "fajtama'a" (maka berkumpul).
Dan kata tersebut berasal dari kata "ijtima'" (perkumpulan), ia lawan kata dari "tafarruq" (perceraian) dan juga lawan kata dari "furqah" (perpecahan).
Jama'ah adalah sekelompok orang banyak; dan dikatakan juga sekelompok manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan.

Dan jama'ah juga berarti kaum yang bersepakat dalam suatu masalah. (Lihat kamus bahasa: Lisaanul ‘Arab, Mukhtaraarush Shihaah dan al-Qaamuusul Muhiith: (bab: Jama'a).

Pengertian Jama'ah Secara Istilah (Terminologi):

Yaitu kelompok kaum muslimin ini, dan mereka adalah pendahulu ummat ini dari kalangan para sahabat, tabi'in dan orang-orang yang mengikuti jejak kebaikan mereka sampai hari kiamat; dimana mereka berkumpul berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah dan mereka berjalan sesuai dengan yang telah ditempuh oleh Rasulullah shalallahu'alaihi wassalam baik secara lahir maupun bathin.
Allah Ta'ala telah memeringahkan kaum Mukminin dan menganjurkan mereka agar berkumpul, bersatu dan tolong-menolong. Dan Allah melarang mereka dari perpecahan, perselisihan dan permusuhan. Allah SAW berfirman: "Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai." (Ali Imran: 103).

Dia berfirman pula, "Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka." (Ali Imran: 105).

Nabi shalallahu'alaihi wassalam bersabda, "Sesungguhnya agama ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga (golongan), tujuh puluh dua tempatnya di dalam Neraka dan satu tempatnya di dalam Surga, yaitu ‘al-Jama'ah." (Shahih Sunan Abi Dawud oleh Imam al-Albani). (HR. Abu Dawud no. 4597, Ahmat (IV/102), al-Hakim (I/128), ad-Darimi (II/241). Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Dishahihkan pula oleh Syaikh al-Albani. Lihat Silsilatul Ahadadiitsish Shahiihah no. 203.204).

Beliau juga bersabda, "Hendaknya kalian bersatu, dan janganlah bercerai-berai. Karena sesungguhnya syaitan itu bersama seorang, dan dia dari dua orang lebih jauh. Barangsiapa menginginkan di tengah-tengah Surga, maka hendaknya ia berjama'ah (bersatu)!" (HR Ahmad, dalam Musnadnya, dan dishahihkan oleh Imam al-Albani dalam kitab Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim). (HR. At-Tirmidzi no. 2165, Ahmad (I/18), lafazh ini milik at-Tirmidzi. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab as-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim dan bersamanya kitab Zhilaalul Jannah fi Takhrij as-Sunnah no. 88).

Seorang Sahabat yang mulia bernama ‘Abullah bin Mas'ud radhiallahu'anha berkata, "Al-Jama'ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian." (Diriwayatkan oleh al-Lalika-i dalam kitabnya, Syarah Ushul I'tiqaad Ahlis Sunnah walJama'ah). (Syarah Ushuulil I'tiqaad karya al-Lalika-i no. 160 dan al-Baa'its ‘alaa Inkaaril Bida' wal Hawaadits hal. 91-92, tahqiq oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman).

Jadi Ahlus Sunnah wal Jama'ah, adalah mereka yang berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad shalallahu'alaihi wassalam , para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti jejak dan jalan mereka, baik dalam hal ‘aqidah, perkataan maupun perbuatan, juga mereka yang istiqamah (konsisten) dalam ber-ittiba' (mengikuti Sunnah Nabishalallahu'alaihi wassalam ) dan menjauhi perbuatan bid'ah. Mereka itulah golongan yang tetap menang dan senantiasa ditolong oleh Allah sampai hari Kiamat. Oleh karena itu mengikuti mereka (Salafush Shalih) berarti mendapatkan petunjuk, sedang berselisih terhadapnya berarti kesesatan.

Ahlus Sunnah wal Jama'ah mempunyai karakteristik dan keistimewaan, diantaranya :

1. Mereka mempunyai sikap wasathiyah (pertengahan) di antara ifraath (melampaui batas) dan tafriith (menyia-nyiakan); dan di antara berlebihan dan sewenang-wenang, baik dalam masalah ‘aqidah, hukum atau akhlak. Maka mereka berada di pertengahan antara golongan-golongan lain, sebagaimana juga ummat ini berada dipertengahan antara agama-agama yang ada.

2. Sumber pengambilan pedoman bagi mereka hanyalah al-Qur-an dan as-Sunnah, Mereka pun memperhatikan keduanya dan bersikap taslim (menyerah) terhadap nash-nashnya dan memahaminya sesuai dengan manhaj Salaf.

3. Mereka tidak mempunyai iman yang diagungkan, yang semua perkataannya diambil dari meninggalkan apa yang bertentangan dengan kecuali perkataan Rasulullah shalallahu'alaihi wassalam . Dan Ahli Sunnah itulah yang paling mengerti dengan keadaan Rasulullah shalallahu'alaihi wassalam perkataan dan perbuatannya. Oleh karena itu, merekalah yang paling mencintai sunnah, yang paling peduli untuk mengikuti dan paling lolal terhadap para pengikutnya.

4. Mereka meninggalkan persengketaan dan pertengkaran dalam agama sekaligus menjauhi orang-orang yang terlibat di dalamnnya, meninggalkan perdebatan dan pertengkaran dalam permasalahan tentang halal dan haram. Mereka masuk ke dalam dien (Islam) secara total.

5. Mereka mengagungkan para Salafush Shalih dan berkeyakinan bahwa metode Salaf itulah yang lebih selamat, paling dalam pengetahuannya dan sangat bijaksana.

6. Mereka menolak ta'wil (penyelewengan suatu nash dari makna yang sebenarnya) dan menyerahkan diri kepada syari'at, dengan mendahulukan nash yang shahih daripada akl (logika) belaka dan menundukkan akal di bawah nash.
7. Mereka memadukan antara nash-nash dalam suatu permasalahan dan mengembalikan (ayat-ayat) yang mutasyabihat (ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian/tidak jelas) kepada yang muhkam (ayat-ayat yang jelas dan tegas maksudnya).

8. Mereka merupakan figur teladan orang-orang yang shalih, memberikan petunjuk ke arah jalan yang benar dan lurus, dengan kegigihan mereka di atas kebenaran, tidak membolak-balikkan urusan ‘aqidah kemudian bersepakat atas penyimpangannya. Mereka memadukan antara ilmu dan ibadah, antara tawakkal kepada Allah dan ikhtiar (berusaha), antara berlebih-lebihan dan wara' dalam urusan dunia, antara cemas dan harap, cinta dan benci, antara sikap kasih sayang dan lemah lembut kepada kaum mukminin dengan sikap keras dan kasar kepada orang kafir, serta tidak ada perselisihan diantara mereka walaupun di tempat dan zaman yang berbeda.

9. Mereka tidak menggunakan sebutan selain Islam, Sunnah dan Jama'ah.

10. Mereka peduli untuk menyebarkan ‘aqidah yang benar, agama yang lurus, mengajarkannya kepada manusia, memberkan bimbingan dan nasehat kepadanya serta memperhatikan urusan mereka.

11. Mereka adalah orang-orang yang paling sabar atas perkataan, ‘aqidah dan dakwahnya.

12. Mereka sangat peduli terhadap persatuan dan jama'ah, menyeru dan menghimbau manusia kepadanya serta menjauhkan perselisihan, perpecahan dan memberikan peringatan kepada manusia dari hal tersebut.

13. Allah Ta'ala menjaga mereka dari sikap saling mengkafirkan sesama mereka, kemudian mereka menghukumi orang selain mereka berdasarkan ilmu dan keadilan.

14. Mereka saling mencintai dan mengasihi sesama mereka, saling tolong menolong diantara mereka, saling menutupi kekurangan sebagian lainnya. Mereka tidak loyal dan memusuhi kecuali atas dasar agama.

Secara garis besarnya, ahlus sunnah wal jama'ah adalah manusia yang paling baik akhlaknya, sangat peduli terhadap kesucian jiwa mereka dengan berbuat ketaatan kepada Allah Ta'ala, paling luas wawasannya, paling jauh pandangan, paling lapang dadanya dengan khilaf (perbedaan pendapat) dan paling mengetahui tentang adab-adab dan prinsip-prinsip khilaf.

Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Secara Ringkas

Bahwa Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah suatu golongan yang telah Rasulullah shalallahu'alaihi wassalam janjikan akan selamat di antara golongan-golongan yang ada. Landasan mereka bertumpu pada ittiba'us sunnah (mengikuti as-Sunnah) dan menuruti apa yang dibawa oleh nabi baik dalam masalah ‘aqidah, ibadah, petunjuk, tingkah laku, akhlak dan selalu menyertai jama'ah kaum Muslimin.

Dengan demikian, maka definisi Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak keluar dari definisi Salaf. Dan sebagaimana telah dikemukakan bahwa salaf ialah mereka yang mengenalkan Al-Qur-an dan berpegang teguh dengan As-Sunnah. Jadi Salaf adalah Ahlus Sunnah yang dimaksud oleh Nabi shalallahu'alaihi wassalam. Dan ahlus sunnah adalah Salafush Shalih dan orang yang mengikuti jejak mereka.

Inilah pengertian yang lebih khusus dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Maka tidak termasuk dalam makna ini semua golongan ahli bid'ah dan orang-orang yang mendikuti keinginan nafsunya, seperti Khawarij, Jahmiyah, Qadariyah, Mu'tazilah, Murji'ah, Rafidhah (Syiah) dan lain-lainnya dari ahli bid'ah yang meniru jalan mereka.

Maka sunnah adalah lawan kata bid'ah, sedangkan jama'ah lawan kata firqah (gologan). Itulah yang dimaksudkan dalam hadits-hadits tentang kewajiban berjama'ah dan larangan bercerai-berai.
Inilah yang dimaksudkan oleh "Turjumanul Qur-an (juru bicara al-Qur-an)" yaitu ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu'anhu dalam menafsirkan firman Allah Ta'ala, "Pada hari yang diwaktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula maka yang hitam muram". (Ali Imran: 106).

Beliau berkata, "Muka yang putih berseri adalah muka Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan muka yang hitam muram adalah muka ahlil bid'ah dan furqah (perselisihan)." (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Juz I hal. 390 (QS. Ali Imran: 106).

sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy(Pustaka Imam Syafi'i, cet.I), hlm. 50 -60.

Saturday 17 October 2015

15 DALIL KENAPA IMAM SHAFIE LAYAK DI GELAR WAHABI

Oleh: Mohd Hairi Nonchi @ Cikgu Arie

P/S: Diizinkan untuk menyebarluaskan nota ini. Lebih baik difotocopy dan diedarkan kepada orang ramai, khususnya mereka yang terpengaruh dengan fitnah ke atas pendukung sunnah yang dimomokkan dengan gelaran 'Wahhabi'.

Berikut ialah 14 amalan atau ciri-ciri yang sering dikaitkan dengan mereka yang ditohmah dan dilabel dengan gelaran Wahhabi. Mari kita lihat ciri-ciri yang dimaksudkan dan para ulamak bermazhab Syafie yang turut serta memiliki ciri-ciri tersebut.

Pertama: Orang kata Wahhabi ialah mereka yang tidak melakukan qunut solat subuh secara terus-menerus. Maka Imam Taqiyuddin as-Subki asy-Syafie dan Syeikh Abu Hasan al-Karajji asy-Syafie juga ialah Wahhabi kerana mereka meninggalkan qunut subuh atas alasan kelemahan hadisnya. – Lihat al-Bidayah wa an-Nihayah, Ma’na Qaul al-Imam al-Muththalibi Idza Shahhal Hadits Fahuwa Madzahbi (Majmu’atur Rasa-ilil Muniriyyah) danThabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra.

Kedua: Orang kata Wahhabi ialah mereka yang tidak melaksanakan solat sunat qabliyyahdua rakaat (sebelum) solat Jumaat. Maka al-Hafizh al-'Iraqi asy-Syafie  dan Imam Abu Syamah asy-Syafie serta al-Imam Abi al-Thayyib Muhammad Syams al-Haq al-‘Azhim al-Abadi juga ialah Wahhabi kerana mereka  melemahkan pandangan yang mensabitkan solat sunat dua rakaat sebelum Jumaat. – Lihat al-Ba’its al-Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits,Tharh al-Tsarib dan ‘Awn al-Ma’bud Syarah Sunan Abu Daud.

Ketiga: Orang kata Wahhabi ialah mereka yang tidak bersetuju dengan azan dua kali Jumaat. Maka Wahhabilah Imam asy-Syafie yang cenderung kepada Sunnah Nabi, iaitu azan Jumaat hanya sekali di zamannya. – Lihat kitab al-Umm.

Keempat: Orang kata Wahhabi ialah mereka yang membenci kenduri arwah. Maka Wahhabilah Imam asy-Syafie dan para imam bermazhab Syafie selainnya seperti Syeikh Mustafa Khin asy-Syafie, Syeikh Mustafa al-Bugha asy-Syafie, Syeikh ‘Ali al-Syarbaji asy-Syafie, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari asy-Syafie, Syeikh Daud al-Fatani asy-Syafie, Syeikh Zainul Abidin Muhammad al-Fatani dan ramai lagi. Ini kerana mereka semua amat membenci amalan kenduri arwah. – Lihat kitab al-Umm, kitab I’anatu ath-Thalibin, Kashfu al-Litham, Sabil al-Muhtadin, Bughyatul Tullab  dan kitab al-Fiqh al-Manhaj ‘Ala Madzhab al-Imam asy-Syafie.

Kelima: Orang kata Wahhabi ialah mereka yang tidak bermazhab dan menentang taqlid buta dalam beragama (ikut membuta tuli). Maka Wahhabilah Imam asy-Syafie kerana tidak bermazhab kepada mazhab-mazhab yang muncul sebelumnya, antaranya ialah Imam Malik (mazhab Maliki), iaitu gurunya sendiri. Juga Wahhabilah Imam asy-Syafie kerana menetang keras amalan bertaqlid buta dalam beragama. – lihat kitab Manaqib asy-Syafie, Siyar A’lam al-Nubala’, Hilyatul Auliya’ dan Tarikh Dimasyqi.

Keenam: Orang kata Wahhabi ialah mereka yang menunaikan zakat dengan makanan ruji seperti gandung, tamar, beras dan seumpama. Maka Wahhabilah Imam asy-Syafie kerana memfatwakan zakat fitrah hendaklah menggunakan makanan ruji, bukan wang sebagaimana amalan umat Islam di Malaysia - termasuk mereka yang mengaku bermazhab Syafie. – Lihat Kitab al-Umm.

Ketujuh: Orang kata Wahhabi ialah mereka yang tidak membaca lafaz ‘Sayyidina’ ketika berselawat ke atas Nabi. Maka Wahhabilah Imam asy-Syafie yang tidak pernah menulis di dalam mana-mana kitabnya, baik kitab al-Umm mahupun kitab al-Risalah. Demikian juga Wahhabilah al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani asy-Syafie yang turut menyinggung permasalahan ini di dalam kitabnya yang terkenal, Fath al-Bari (syarah kepada al-Bukhari).

Kelapan: Orang kata Wahhabi ialah mereka yang tidak mengkhususkan bacaan surah Yasin pada malam Jumaat tetapi menggalakkan surah al-Kahfi. Maka Wahhabilah Imam asy-Syafie yang memfatwakan disukai membaca surah al-Kahfi di malam Jumaat atas alasan ia menepati Sunnah Nabi. Tambahan pula tidak ditemui dalam mana-mana kenyataannya atau pun para ulamak selainnya tentang galakkan membaca surah Yasin pada setiap malam Jumaat.– Lihat kitab al-Umm.

Kesembilan: Orang kata Wahhabi ialah mereka yang enggan berdoa dan berzikir dengan suara yang kuat dan dilakukan secara beramai-ramai selepas solat berjemaah. Jika demikian Wahhabilah Imam asy-Syafie dan para ulamak bermazhab Syafie seperti Imam al-Nawawi,  Ibn Hajar al-Haitsami,  Syeikh Zainuddin ‘Abd al-‘Aziz asy-Syafie, al-Imam al-Baihaqi asy-Syafie  dan selainnya. Ini kerana mereka tidak pernah mengajarkan demikian dalam kitab-kitab mereka. Sebaliknya hanya membolehkan berzikir berjemaah (baca: bukan doa) dalam konteks mengajar makmum sahaja, bukan selalu. – Lihat kitab al-Umm, at-TahqiqMinhaj ath-Thalibin, Tuhfat al-Muhtaj bi Syarah al-Minhaj, Fath al-Bari, Fath al-Mu’in dan Sunan al-Kubra al-Baihaqi.

Kesepuluh: Orang kata Wahhabi ialah mereka yang tidak melafazkan niat sebelum solat. Maka Wahhabilah Imam asy-Syafie yang tidak pernah mengajarkan amalan demikian. Demikian juga Wahhabilah al-Qadhi Abu al-Rabi’ Sulaiman bin ‘Umar asy-Syafie kerana menyatakan amalan melafazkan niat sebelum solat itu bukan berasal daripada Sunnah Nabi yang sahih. – Lihat kitab al-Qaul al-Mubin Fi Akhtha’ al-Mushallin.

Kesebelas: Orang kata bahawa Wahhabi ialah mereka yang menafikan sampainya pahala bacaan al-Qur’an yang dihadiahkan kepada si mati. Maka Wahhabilah Imam asy-Syafie, Syeikh al-Haitsami asy-Syafie dan selainnya yang berpendapat tidak sampai pahala bacaan al-Qur’an yang dikirimkan kepada si mati. – Lihat Tafsir Ibn Katsir, al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab dan al-Fatwa al-Kubra al-Fiqhiyyah.

Kedua belas: Orang kata bahawa Wahhabi ialah mereka yang melarang mengkapur dan membina binaan di atas kubur. Maka Wahhabilah Imam asy-Syafie dan Imam al-Munawi yang menjelaskan kebencian Imam asy-Syafie kepada amalan membangun dan mengkapur kuburan sebagaimana yang mendarah daging dalam tradisi umat Islam yang mengaku bermazhab Syafie. – Lihat kitab al-Umm, Syarah Shahih Muslim dan Faidh al-Qadir.

Ketiga belas:  Orang kata bahawa Wahhabi ialah mereka yang menetapkan sifat al-Istiwa’Allah di atas ‘Arasy di atas langit, sifat turun (al-Nuzul) dan sebagainya tanpa takwil. Maka Wahhabilah Imam asy-Syafie yang menetapkan kedua-dua sifat itu dan selainnya tanpa sebarang pentakwilan ke atasnya. Demikian juga al-Imam adz-Dzahabi asy-Syafie yang turut menetapkan sifat-sifat Allah. – Lihat kitab Tafsir Ibn Katsir dan al-‘Uluw Li al-‘Aliyyil ‘Azhim.

Keempat belas: Orang kata bahawa Wahhabi ialah mereka yang tidak belajar dan berakidah dengan sifat 20. Maka demikian Wahhabilah Imam asy-Syafie kerana tidak pernah mempelajari, apatah lagi mengajarkan sifat 20 itu. Tidak ada satu jua bukti beliau berpegang kepada kaedah pengajian sifat 20 dalam mana-mana kitabnya. - Lihat kitab al-Umm dan al-Risalah.

Kelima belas: Orang kata Wahhabi ialah mereka yang tidak menyapu muka selepas berdoa. Jika demikian maka Wahhabilah Imam al-Nawawi asy-Syafie yang menafikan kesunnahan menyapu muka selepas doa. Demikian juga Imam al-'Izz 'Abd as-Salam asy-Syafie yang menyatakan adalah bodoh orang-orang yang menyapu muka selepas berdoa.Dinyatakan di dalam 'Irwa' al-Ghalil dan Shahih al-Adzkar wa Dha'ifuhu.

Dan banyak lagi jika hendak diperincikan. Rupanya Wahhabi ialah mereka yang menyelisihi kebiasaan masyarakat dan berpegang teguh kepada al-Qur'an serta as-Sunnah sahihah!                               

THE WAHABI MYTH



CLICK THIS LINK TO READ THIS BOOK:
THE WAHABI MYTH
THE WAHABI MYTH
THE WAHABI MYTH
THE WAHABI MYTH
By Haneef James Oliver

Some excerpts:




THE WAHABI MYTHTHE WAHABI MYTH

PENJELASAN ULAMA FEQAH TENTANG BID'AH


Penjelasan Ulamak Fekah Tentang Bid’ah
Disusun oleh al-Quraisy

Berkata Imam Syafie, “Bid’ah itu dua, iaitu mahmudah (dipuji) dan mazmumah (dicela). Maka apa-apa yang sesuai dengan sunah itulah yang dipuji, dan apa-apa yang bertentangan dengan sunah itulah yang dicela.” “Perkara yang direka ada dua bahagian. Pertama, perkara yang menyalahi Quran, as-Sunah, atsar, dan ijmak maka itulah bid’ah dhalalah (sesat). Kedua, perkara kebajikan yang tidak menyalahi kesemuanya itu, maka ianya perkara yang tidak tercela (muhdatsatun ghairu mazmumah).”

Penjelasan Imam Syafie ini dikuatkan oleh beberapa ulamak usul fiqh dan hadis mazhab Syafie, antaranya Imam Abu Syamah dan Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani. Mereka berpendapat bahawa bid’ah terbahagi kepada dua bahagian; mahmudah dan mazmumah, atau dengan kata lain bid’ah hasanah dan sayyiat. Ini kerana mereka memandang bahawa sesuatu yang diada-adakan selepas kewafatan Rasulullah, samada ianya berdalil ataupun tidak. Berdalil dinamakan bid’ah hasanah dan yang tidak berdalil pula dinamakan bid’ah sayyiat.

Kemudian Imam ‘Izzuddin Abdussalam, seorang alim usul fiqh mazhab Syafie, mengemukakan suatu takrif lain bagi bid’ah dan memberi penjelasannya, “Adapun bid’ah itu, suatu amalan/perkara yang tidak wujud pada zaman Rasulullah s.a.w.. Ianya terbahagi kepada bid’ah; wajib, haram, sunat, makruh, dan harus (dibolehkan). Jika bid’ah itu termasuk dalam kaedah wajib, maka itulah bid’ah yang diwajibkan, dan jika termasuk dalam kaedah tahrim, maka itulah bid’ah yang diharamkan…(begitulah seterusnya).”

Dengan penjelasan ini, dikatakan bid’ah itu dipecahkan menjadi lima bahagian dengan disesuaikan dengan kaedah-kaedah umum syarak iaitu wajib, haram, sunat, makruh, dan mubah.

Imam ‘Izzuddin memberikan penjelasannya berdasarkan perkataan Imam Syafie yakni bid’ah mahmudah dan mazmumah. Bermaksud, perkara yang diada-adakan (muhdatsatun) selepas kewafatan Rasulullah yang sejajar dengan sunah, inilah bid’ah mahmudah, adapun perkara muhdats yang menyalahi sunah, maka itulah bid’ah mazmumah. Dengan kata mudah, segala sesuatu yang muhdats selepas kewafatan Rasulullah dengan berdalil, maka inilah bid’ah yang tidak tercela.

Pembahagian bid’ah oleh sebahagian ulamak mutaakhirin dengan ‘segala perkara yang diada-adakan selepas kewafatan Rasulullah samada berdalil ataupun tidak, dinamakan bid’ah.’ Yang ada dalilnya dipanggil “bid’ah hasanah” yang tidak berdalil dipanggil “bid’ah sayyiat” atau “bid’ah qabihah”. Kemudian mereka merumuskan menjadi lima bahagian seperti yang telah disebutkan.

Akan tetapi, pembahagian bid’ah mengikut kaedah hukum syarak ini dibantah oleh Imam Syatibi, “Sesungguhnya pembahagian ini, suatu perkara yang direka, tidak ada dalil syarak tentangnya, kerana hakikat bid’ah itu adalah suatu yang tidak berdalil, baik dari nas-nas syarak mahupun melalui kaedah-kaedahnya. Sekiranya ada dalil yang menunjukkan wajib, sunat atau harus sesuatu perkara/amal, maka ianya bukanlah bid’ah,  bahkan perkara itu termasuk dalam amalan yang diperintah atau diharuskan. Oleh sebab itu, perkara bid’ah dan perkara yang berdalil tentang wajib, sunat dan harusnya sesuatu amal itu, adalah suatu bahagian yang berbeza.”

Jelasnya, pembahagian bid’ah menjadi lima sebagaimana hukum, tidak ada dalil sedikit pun dari syarak, bahkan dalam pembahagian itu sendiri sudah bertentangan. Ini kerana, kalaulah bid’ah dalam agama itu seperti hukum syarak maka bererti bid’ah itu mempunyai ketentuan hukum, sedangkan sesuatu yang mempunyai ketentuan hukum bukan lagi dinamakan bid’ah kerana bid’ah itu sendiri suatu amal agama yang tidak ada dalilnya, tidak ada ketentuan hukumnya dan tidak ada keterangannya baik dari nas syarak mahupun dari kaedahnya.

Jadi menurut Imam Syatibi, membahagikan bid’ah menjadi lima bahagian itu tidaklah sesuai dan bertentangan dengan hukum syarak, kerana kaedah-kaedah hukum syarak sudah ditentukan, adapun kaedah mengenai bid’ah adalah suatu hal yang lain pula.

Manakah yang benar antara pendapat dan penjelasan daripada dua orang ulamak besar ini? Bagi kita, hendaklah diketahui terlebih dahulu dimanakah kedudukan bid’ah itu sendiri. Sedang kedudukannya adalah perkara yang jelas, bahawa bid’ah itu di sisi ulamak yang membahagikannya ataupun tidak adalah sama. Misalnya, Imam Abu Syamah dan Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, keduanya termasuk dalam kategori ulamak yang membahagikan bid’ah telah mentakrifkan dengan tegas maksud “bid’ah dalam agama”.

Imam Abu Syamah berkata, “Iaitu perkara yang tidak pernah wujud pada zaman Rasulullah, baik berupa pekerjaan ataupun yang diakui kebenarannya, juga sesuatu yang diketahui dari kaedah-kaedah syariatnya.”

Imam Ibnu Hajar berkata, “Iaitu sesuatu yang diada-adakan padahal tidak ada asalnya dalam syarak. Adapun yang berdalil dari syarak, maka itu bukanlah bid’ah, kerana bid’ah menurut takrif syarak adalah tercela.”

Kesimpulannya, dua golongan tadi pada hakikatnya telah sepakat menetapkan bahawa segala macam bid’ah yang mana berlakunya sesudah ketiadaan Nabi s.a.w., tidak ada dalil dari nas-nas syarak dan tidak termasuk dalam kaedah-kaedah syarak, itulah bid’ah yang tercela dan sesat. Mereka hanya berselisih dalam memberikan penjelasan sahaja, terbukti apabila ulamak yang membahagikan bid’ah, menolak sebarang ibadat yang tidak ada contohnya daripada Rasulullah dan sahabat baginda dengan menamakannya, “bid’ah munkarah”, “bid’ah qabihah” atau “bid’ah sayyiat”.

Wallahuaklam.

BID'AH AQIDAH MENURUT IMAM SYAFI'E

BID'AH AKIDAH MENURUT IMAM AS-SYAFIE

Sebenarnya bid'ah yang diperkatakan oleh Imam as-Syafie bukan hanya di segi feqhiyah, tetapi merangkumi juga persoalan yang lebih besar, iaitu bid'ah akidah yang menyentuh persoalan syirik besar dan kecil atau tentang sah dan batalnya akidah seseorang yang mengaku sebagai seorang mukmin. Contohnya, Imam as-Syafie menolak fahaman (akidah) firqah-firqah bid'ah seperti Syiah, Khawarij, Qadariyah dan yang lainnya sebagaimana yang diriwayatkan dari para ulamak as-Syafie:

1 - Sebagaimana yang ditakhrij oleh al-Baihaqi sebagai qaul yang sahih dari Rabi' bin Sulaiman dari Imam as-Syafie bahawa:

'Imam as-Syafie telah melarang bersolat di belakang orang yang berfahaman (berakidah) Qadariyah".[34]

Larangan Imam as-Syafie ini lantaran firqah Qadariyah telah bid'ah akidahnya dan disepakati oleh para ulama salaf sebagai golongan yang sesat.

2 - Dari al-Lalakaii dari al-Muzani berkata:

"Tahukah kamu siapakah yang termasuk dalam golongan Qadariyah? Dia adalah orang-orang yang mengatakan bahawa Allah tidak menciptakan sesuatu sehingga sesuatu amal tersebut dikerjakan".[35]

Dan menurut al-Baihaqi lagi bahawa Imam as-Syafie telah berkata:

"Qadariyah ialah mereka yang telah digambarkan oleh Rasulullah sallallahu 'alaihi wa-sallam sebagai orang-orang Majusi ummat ini".[36]

Wasiat Imam as-Syafie ini menunjukkan bahawa beliau menentang semua golongan yang terkeluar dari akidah Ahli Sunnah wal-Jamaah. Qadariyah ternyata telah terkeluar dari akidah Ahli Sunnah wal-Jamaah.

3 - Imam Syafie berkata tentang Syiah:

"Belum pernah aku saksikan di kalangan manapun manusia yang begitu berani menjadi pendusta dan sebagai saksi-saksi palsu (bohong) seperti golongan Syiah".[37]

Dari kenyataan Imam as-Syafie di atas, sudah jelas bahawa akidah Imam as-Syafie adalah akidah yang di pegang oleh golongan Ahli Sunnah wal-Jamaah yang mendasari manhaj Salaf as-Soleh. Beliau ternyata adalah seorang ulama besar dibidang fikeh dan akidah.

TAUHID MENURUT IMAM AS-SYAFIE
Dalam memperkatakan tauhid asma' (nama-nama Allah) was-sifat wa-zat (sifat-sifat dan zat Allah), tauhid uluhiyah serta tauhid rububiyah, maka Imam as-Syafie dianggap seorang Imam Besar Salafi yang menegah (mengharamkan) takwil, takyif, tasybih dan ta'til terhadap sifat dan zat Allah ‘Azza wa-Jalla. Sebagaimana yang dapat difahami dari riwayat Abu Talib Al-'Usayri beliau berkata: Imam as-Syafie pernah ditanya berkenaan sifat-sifat Allah 'Azza wa-Jalla dan beriman dengannya, beliau (Imam as-Syafie) menerangkan:

"Allah Tabaraka wa-Ta'ala memiliki asma' (nama-nama) dan sifat-sifat yang telah disebutkan oleh KitabNya (al-Quran) dan dikhabarkan oleh NabiNya sallallahu 'alaihi wa-sallam (hadith-hadith) kepada umatnya, yang tidak boleh diingkari oleh sesiapa pun dari makhlukNya kerana telah sampai kepadanya dalil bahawa al-Quran turun membawa keterangan tentangnya. Begitu juga diriwayatkan tentangnya dengan perawi yang thiqah (dipercayai)". [38]

Dalam menjelaskan Tauhid Uluhiyah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abu Muhammad az-Zubiri bahawa Imam as-Syafie berkata:

"Adapun kewajipan yang berupa beriman kepada Allah yang berupa (kerja) hati, ialah mengakui dan mengetahui dengan penuh keyakinan, redha dan berserah bahawa tiada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Allah, tidak ada sekutu bagiNya, tidak mempunyai isteri dan anak, dan mengakui bahawa Muhammad adalah hambaNya dan RasulNya".[39]

Apabila memperkatakan tentang tauhid rububiyah, Imam as-Syafie membawakan dalil melalui firman Allah:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih berganti malam dan siang........". Maka dijelaskan oleh Imam as-Syafie: "Maka jadikanlah makhluk ciptaan Allah sebagai dalil akan adanya pencipta, janganlah menyusahkan dirimu dengan sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh akalmu".[40]

Antara maksud yang dapat difahami dari penjelasan Imam as-Syafie ini bahawa beliau melarang mencabuli wahyu Allah dengan hawa nafsu atau akal jika sesuatu persoalan yang dikhabarkan oleh wahyu itu berupa persoalan akidah yang tidak mampu dijangkau oleh akal fikiran manusia.

Malangnya para pengikut yang mendakwa diri mereka bermazhab as-Syafie mengenepikan wasiat Imam as-Syafie ini. Mereka mengambil akal (falsafah) sebagai landasan untuk mengenal Allah, agama dan iman. Mereka berakidah dengan akidah kaum Muktazili falsafi, al-Maturidiyah (sifat 20) atau sufi falsafi, bukan akidah yang dianut oleh Imam as-Syafie yang berpegang kepada akidah Ahli Sunnah wal-Jamaah yang bermanhaj Salaf as-Soleh.

AKIDAH PARA ULAMA AS-SYAFI’EYAH
Di dalam sebuah kitab berbahasa Arab yang memperkatakan akidah kalangan ulama as-Syafie iaitu kitab (بيان الشرك ووسائله عند علماء الشافعية), dibawakan fatwa-fatwa dari beberapa orang ulama as-Syafieyah tentang kesyirikan dan dosa-dosa besar yang bersangkutan dengan persoalan syirik, terutamanya yang berkaitan dengan syirik akbar (syirik besar). Antara contoh-contoh dari fatwa tersebut:

Telah berkata Ibn Hajar al-Haitami rahimahullah tentang kuburi (قُبُرِيٌّ). Erti dan maksud kuburi ialah: "Orang yang suka memuliakan, mencintai atau menyembah kubur atau juga yang berkaitan dengan pemujaan orang di dalam kubur (orang mati)":

"Maka sesungguhnya antara perkara-perkara yang paling besar diharamkan dan penyebab berlakunya perbuatan syirik (menyekutukan Allah Ta’ala) ialah bersembahyang di sisi kuburan dan menjadikannya masjid atau membina masjid (atau binaan) di atas perkuburan".

Fatwa ulama di atas adalah berdasarkan hadith Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam:

"Janganlah kamu solat menghadap ke kuburan (atau di kuburan) dan janganlah kamu duduk di atasnya".[41]

Hadith sahih di atas ini dengan jelas melarang seseorang itu duduk di atas kubur, sembahyang di kuburan atau di masjid yang dibina di atas kawasan perkuburan, tetapi berapa ramaikah mereka yang mendakwa dari mereka bermazhab Syafie melanggar wasiat Imam as-Syafie dan para ulama as-Syafieyah? Malah ada dari kalangan mereka membina binaan di atas kubur dan menyediakan tikar di samping kubur sambil membaca doa atau al-Quran untuk si mati. Bukankah ini bertentangan dengan hadith sahih dan wasiat Imam as-Syafie serta para ulama muktabar Syafieyah?.

"Dari Abi Sa'id al-Khudri radhiallahu ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullah sallallahu 'alaihi wa-sallam: Bumi ini semuanya tempat sujud (masjid) kecuali kuburan dan tandas".[42]

Hadith ini dengan terang dan tegas melarang (mengharamkan) orang yang beriman dari bersembahyang di kuburan, di dalam masjid yang dibina di atas tanah perkuburan atau masjid yang di dalamnya terdapat kubur. Hadith ini dan wasiat Imam as-Syafie yang berpandukan hadith ini tidak diperdulikan dan dilanggar oleh sebahagian besar mereka yang mengakui bermazhab as-Syafie sebagaimana yang banyak terdapat di Tanah Melayu pelanggaran wasiat Imam as-Syafie ini. Sebagaimana juga terdapat larangannya di dalam sebuah sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam:

"Dari Anas radhiallahu ‘anhu: Bahawa Rasulullah sallallahu 'alaihi wa-sallam melarang bersolat di antara kubur-kubur".[43]

Malangnya ramai dari kalangan mereka yang mengatakan bermazhab Syafie masih mendirikan solat di kawasan perkuburan, terutamanya di masjid-masjid yang dibina di kawasan perkuburan, d imasjid yang ada kubur di dalamnya dan sembahyang di bangunan kuburan yang dianggap kubur orang suci, orang keramat atau wali Allah. Perbuatan seperti ini amat bertentangan dengan hadith-hadith sahih, bertentangan dengan fatwa Imam Syafie rahimahullah dan para ulama Syafieyah.

Seterusnya al-‘Allamah Ibn Hajar al-Haitami rahimahullah menjelaskan:

"Dilaknat pembuatnya (orang yang bersolat, membina masjid atau binaan di kuburan), wajib bersegera merobohkannya dan merobohkan kubbah yang dibina di atas kubur kerana membinanya lebih bahaya dari masjid ad-Dirar yang dibina kerana bermaksiat terhadap Rasulullah sallallahu 'alaihi wa-sallam, yang mana baginda telah melarang dari melakukan yang demikian".

Imam an-Nawawi rahimahullah juga telah berfatwa tentang perkara yang berkiatan dengan kuburi:

"Tidak dibolehkan bertawaf di kubur Nabi sallallahu 'alaihi wa-sallam, dilarang melekatkan perut dan dada ke dinding kubur. Abu 'Ubaidillah al-Hulaimi dan selainnya yang mana mereka semua menjelaskan fatwa Imam as-Syafie: Dibenci menyapu dengan tangan dan mengucup kubur Nabi".

Berkata Imam al-Bagawi rahimahullah:

"Dilarang dari meletak payung di atas kubur kerana 'Umar radhiallahu 'anhu berkata: Biarkanlah amalnya memayungkannya".

Ibn Hajar di dalam kitabnya (المنهاج) telah menjelaskan fatwa Imam as-Syafie:

"Dibenci mengapur, membina dan menulis tulisan di atas kubur, sama ada menulis namanya di atas batu di sebelah kepalanya atau di tempat-tempat yang lainnya".

Fatwa Imam as-Syafie berdasarkan hadith:

"Dari Jabir radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah sallallahu 'alaihi wa-sallam telah melarang kuburan dikapur, diduduki atasnya, didirikan bangunan di atasnya, ditambah atau ditulis di atasnya".[44]

Dengan berpandukan kepada hadith di atas, adalah haram mengecat, mengapur, duduk di atas kubur, mendirikan bangunan, membuat batas (meninggikan batas di sekeliling kubur) kemudian menulis ayat al-Quran, nama atau apa sahaja di atas kubur. Malangnya terlalu ramai penganut mazhab as-Syafie melanggar larangan ini. Mereka meletak payang di atas kubur, menulis nama si mati di atas kuburnya, menulia ayat al-Quran (surah al-Fatihah) membina batas di sekeliling kubur dan membina binaan jika dianggap si mati itu orang yang dimuliakan atau keramat. Seolah-olah hadith sahih dan fatwa Imam as-Syafie tidak ada erti bagi mereka. Apakah orang-orang yang seperti ini dinamakan orang yang beriman?

PERBUATAN SYIRIK

Imam as-Syafie juga telah menjelaskan perkara-perkara yang boleh membawa kepada syirik besar dan syirik kecil yang membatalkan akidah seseorang. Antaranya ialah menyeru, meminta perlindungan (pertolongan), sujud, ruku', bernazar dan berkorban (menyembelih) selain untuk Allah. 

Begitu juga seseorang itu ditegah dari mempercayai bahawa selain Allah ada yang mengetahui perkara-perkara yang ghaib. Ditegah bersumpah dengan selain nama Allah dan melafazkan perkataan: "Dengan kehendak Allah dan kehendak engkau" dan percaya dengan kuasa sihir dan percaya bahawa zat sihir atau ilmu hitam boleh memberi kesan.

FIQH AS-SYAFI’E

Ada beberapa (malah banyak yang berlainan) berbeza antara kenyataan amalan fikeh Imam as-Syafie dengan mereka yang mendakwa dirinya bermazhab as-Syafie. Antara contoh-contohnya ialah:

Solat Hari Raya. Telah berkata Imam as-Syafie sebagaimana yang terdapat di dalam Kitab al-Umm:

"Telah sampai (hadith) kepada kami bahawa Rasulullah sallallahu 'alaihi wa-sallam keluar di dua Hari Raya ke musalla (tanah lapang) di Madinah, begitu juga mereka yang sesudah baginda".[45]

Jika terdapat keuzuran seperti hujan atau selainnya diperintahkan oleh baginda agar bersolat di masjid dan tidak keluar ke tanah lapang".[46]

Ada kalangan yang berdegil bersolat di masjid kerana kononnya beralasan dengan perintah 'Umar:

"Wahai manusia! Sesungguhnya Rasulullah sallallahu 'alaihi wa-sallam keluar bersama manusa ke tanah lapang kerana tanah lapang lebih memudahkan mereka dan lapang bagi mereka. Sesungguhnya masjid pada ketika itu tidak dapat memuatkan mereka".

Hadith di atas telah dianggap sebagai hadis lemah oleh Imam as-Syafie.[47] Berkata Imam Bukhari bahawa hadth ini mungkar dan kedudukan hadith ini sangat lemah. [48]

"Sebagaimana menjadi mazhab jumhur ulama atas afdhalnya bersolat di tanah lapang, dan telah ditegaskan oleh Imam Syafie rahimahulla atas tentang makruhnya bersembahyang di masjid terutama jika dalam keadaan sesak". [49]

Dari apa yang telah dihuraikan, jelaslah bagi kita bahawa Imam as-Syafie rahimahullah adalah seorang ulama besar yang amat berjasa kepada ummah sejak zamannya sehinggalah sekarang. Maka sewajarnya umat yang mencintai para ulama salaf seperti beliau, memelihara segala wasiatnya dan tidak mengkhianatinya. 

Semoga Allah sentiasa memberi limpahan rahmat kepadanya dan kepada kita sekalian dengan berkat ilmunya. Amin!

Rujukan:

[1] Lihat: الرسالة Hlm. 7 - 8. Tahqiq dan syarah Ahmad.
[2] Lihat: الرسالة Hlm. 6. Tahqiq dan syarah Ahmad.
[3] Lihat: الرسالة Hlm. 6. Tahqiq dan syarah Ahmad.
[4] Lihat: الرسالة Hlm. 6. Tahqiq dan syarah Ahmad.
[5] Lihat: الرسالة Hlm. 6. Tahqiq dan syarah Ahmad.
[6] Lihat: الرسالة Hlm. 5. Tahqiq dan syarah Ahmad.
[7] Lihat: الرسالة Hlm. 7. Tahqiq dan syarah Ahmad.
[8] Makna taqlid ialah: (1). الرجوعُ الى قولٍ لا حجة لقائله عليه "Taqlid ialah: kembali kepada qaul (pendapat) yang mana (orang yang memberi pendapatnya) tidak ada hujjah di atas qaulnya". (2). التقليد هو قبولُ قَولَ القائل وانت لا تعلم من اين قاله "Taqlid ialah: Menerima perkataan seseorang sedangkan engkau tidak tahu dari mana (ia mengambil) perkataannya".
[9] Lihat: جامع البيان العلم وفضله Jld. 1. Hlm. 91. Abu 'Umar Yusuf bin Abdulbar an-Namri al-Qurtubi.
[10] Lihat: اعلام الموقعين (17) Ibn Qaiyyim al-Jauzi.
[11] Lihat: اعلام الموقعين (17) Ibn Qaiyyim al-Jauzi.
[12] Lihat: تفسير الالوسى (10/84).
[13] Lihat: الاعتصام jld. 2. Hlm. 359. As-Syatibi. Makkah al-Mukarramah.
[14] Lihat: مسائل الامام احمد Diriwayatkan oleh Abu Daud. Hlm. 277.
[15] Lihat: الاحكام فى اصول الاحكام Jld. 6. 118. Abu Ali Bin Hazam al-Andulusi az-Zahari.
[16] Lihat: هل المسلم ملزم باتباع مذهب معين من المذاهب الاربعة Hlm. 70. Muhammad Sultan al-Maksumi.
[17] Lihat: البدعة تحديدها وموقف الاسلام منها Hlm. 160. Dr. Izzat Ali 'Atiah. Darul Kitab al-Arabi. Lebnon.
[18] Lihat:الباعث على انكار البدع والحوادث Hlm. 12. Abi Syamah as-Syafie.
[19] Lihat: الحاوي Jld. 1. Hlm. 539. as-Syuyuti. Tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid. Terbitan at-Tijariyah.
[20] Lihat: (1). اللمع فى الرد على محسني البدع Hlm. 36. Abdul Qayyum bin Muhammad bin Hashir as-Sahaibani. (2). مناقب الشافعى Jld. 1. Hlm 469. (3). الباعث على انكار البدع والحوادث Hlm. 94. Syihabuddin Abu Muhammad Abdulrahman bin Ismail (lebih dikenali dengan laqab) Abu Syamah.
[21] H/R Muslim.
[22] Lihat: فتاوى أئمة المسلمين Jld. 1. Hlm. 138. Mahmud Khatab as-Subki. Al Istiqamah.
[23] Lihat: اللمع فى الرد على مُحَسِّني البدع Hlm. 37. Abdul Qayyum bin Muhammad bin Nashir as-Sahaibani.
[24] Al-Maidah, 5:3.
[25] H/R Ahmad (24840). Bukhari (2499). “Raddun (رَدٌّ) bererti bid’un (bid’ah) sebagaimana yang dijelaskan oleh Ali Hasan dalam bukunya Usul al-Bid’ah”.
[26] H/R Bukhari.
[27] Lihat: اللمع فى الرد على محسني البدع Hlm. 38.
[28] Lihat: اللمع فى الرد على محسني البدع Hlm. 38.
[29] Lihat: اللمع فى الرد على محسني البدع Hlm. 39.
[30] Lihat: اللمع فى الرد على محسني البدع Hlm. 39.
[31] Lihat: المجموع Jld. 1. Hlm. 63.
[32] Lihat: سير اعلام النبلاء Jld. 10. Hlm. 34
[33] Lihat: (1). اَلاَحْكَام فى اصول الاحام Jld. 1. Hlm. 145. Abu Ali bin Hazam al-Andulusi. (2). جامع بيان العلم وفضله Jld. 1. Hlm. 147. Abu 'Umar Yusuf bin Abd al-Barr al-Qurtubi. (3). الفتاوى Jld. 1. Hlm. 147.
[34] Lihat: مناقب الشافعى Hld. 1. Hlm. 413.
[35] Lihat: شرح اصول الاعتقاد اهل السنة والجماعة Jld. 2. 701. Abul Qasim Hibatullah bin al-Husin at-Tabary al-Lalakaii. Tahqiq Ahmad Sa'ad Hamdan. Dar Taiyibah. Riyad. Saudi Arabia.
[36] Dikeluarkan oleh Abu Daud (4691). Bab al-Qadar.
[37] Lihat: Sunnah Dan Syiah, Mungkinkah Dipertemukan? Hlm. 57. Dr. Abdullah Muhamma Gharib. Edisi pertama. Surabaya. l984.
[38] Lihat: صفة العلو Ibn Qudamah. Hlm. 124.
[39] Lihat: مناقب الشافعي Jld. 1. Hlm. 387. Al-Baihaqi.
[40] Lihat: شعار العلم النبلاء Az-Zahabi. Tahqiq Syu'aib. Muassasah ar-Risalah.
[41] H/R Muslim (3/62). Abu Daud, Ahmad, Nasaii, Turmizi dan selain mereka.
[42] H/R Abu Daud No 492. Darimi (1/322) Ibnu Majah No 745. Ahmad,Turmizi, Hakim dan Ibn Hibban.
[43] H/R al-Bazzar
[44] H/R Muslim (3/63). Abu Daud No. 3225-3226) Ahmad (3/295, 332, 339, dan 399). Diriwayatkan juga oleh Turmizi dan Hakim.
[45] Lihat: al-Umm. Jld. 1. Hlm. 207.
[46] Lihat: al-Umm. Jld. 1. Hlm. 207.
[47] Lihat: al-Umm. Jld. 1. Hlm. 207.
[48] Lihat: صلاة العيدين فى المصلى هى السنة Hlm. 27. Nasruddin Al-Albani. Maktabah al-Islami. Beirut. Cetakan Kedua. 1406H-1986M.
[49] Lihat: صلاة العيدين فى المصلى هى السنة Hlm. 27. Nasruddin Al-Albani. Maktabah al-Islami. Beirut. Cetakan Kedua. 1406H-1986M.